“Ini nggak mungkin, ini pasti salah, aku nggak mungkin dapat urutan sejelek ini”. Hatiku berontak melihat sebuah kertas yang tertempel di papan tulis kelas. Di kertas itu berisi urutan peringkat siswa di kelas ku, pada semester lalu dan aku berada di urutan terakhir. Ada rasa nggak percaya di benakku.
Tanpa aku sadari air mataku menetes di pipiku. Aku coba menghindar dari teman-teman. Aku menuju teras depan kelas. Tiba-tiba Maura mendekati aku. “Sudah nggak usah sedih ini kan masih semester pertama, masih ada kesempatan untuk memperbaiki ini. Meskipun nilai kamu di kelas jelek, tetapi di kelas lain itu termasuk bagus”.
“Tapi aku nggak pernah dapat urutan sejelek ini. Orang tua ku pasti sangat kecewa dan marah sama aku”. Dengan nada agak sedikit tertekan aku membalas perkataan Maura.
“Di kelas kita kan banyak anak yang pintar, sedangkan kita pindahan dari kelas regular”. Balas Maura.
“Entahlah, sekarang yang aku pikirin, gimana caranya aku dapat izin dari orang tuaku untuk diperbolehkan ikut kegiatan ke Pacet besok”. Aku coba mengalihkan pembicaraan.
“Mmm… gimana iya, aku juga nggak tahu Nes, aku juga bingung. Nilaiku juga turun, nggak tahu gimana caranya dapat izin dari orang tua”. Maura juga mendapat masalah yang sama denganku, tapi nilainya tidak sejelek nilaiku.
Sudah banyak orang tua yang datang untuk mengambil hasil rapor anaknya. Tetapi orang tuaku tak juga terlihat. Aku semakin cemas dan bingung. Setelah satu jam berlalu, akhirnya ayahku datang. Aku mencoba bersikap tenang dan mendekat ke ayahku.
“Yah… nilai ku turun, aku dapat peringkat terakhir”. Sambil menunjukkan kertas berisi urutan peringkat.
“Lho kok bisa?”. Ayahku menghentikan langkahnya dengan raut muka yang sangat kaget.
“Di kelasku banyak anak-anak yang lebih pintar dari pada aku”. Aku berusaha membela diriku.
“Di rumah saja, jelaskan pada ibumu”. Ayahku mengambil keputusan untuk menjelaskan semuanya di rumah.
Aku diam tidak menjawab perkataan ayahku tadi. Sedangkan ayahku memasuki kelas. Di dalam kelas aku melihat ayahku sedang menelpon ibuku dan memberitahu tentang nilaiku yang turun. Aku hanya melihatnya dari luar dan tidak bisa mendengarkannya dengan jelas obrolan itu.
Akhirnya giliran ayahku menuju meja guru. Aku di luar menunggu denga antusias. Aku mersa takut banget. Akhirnya ayahku selesai dan keluar dari ruangan itu. Sesampainya di luar ayahku mengajak aku pulang.
“Ayo, pulang!”. Ajakan ayah padaku.
“Nggak, aku pulang nanti, soalnya ada rapat buat kegiatan besok, ayah pulang dulu aja. Aku nanti pulang sendiri”.
“Iya sudah, jangan lama-lama. Kalo sudah selesai langsung pulang”.
Akhirnya ayahku pulang dan aku menuju Mushalla untuk rapat kegiatan di Pacet. Di Mushalla cuma ada beberapa orang teman panitia dan pelatih saja.
Sepanjang perjalanan pulang, hatiku gundah. Aku merasa sangat takut, bila sampai di rumah orang tuaku marah besar padaku. Tak lama kemudian aku tiba di Rumah. Rupanya ibuku sudah ada di ruang tamu. Aku tak menghiraukannya, aku langsung masuk ke kamar dan berganti baju. Setelah berganti baju, aku menuju ke ruang tamu untuk membicarakan hasil rapor ku.
“Nggak sudi liat nilai rapor muku memulai pembicaraan dengan nada agak sedikit tertekan.
Aku hanya biza diam dan mendengarkan perkataan ibuku. Setelah ibuku selesai berbicara, aku mencoba menjelaskan, member pengertian kepada ibuku. Akhirnya ibu ku bisa menerima alasanku dan aku diberi izin untuk liburan ke Pacet. Pada malam harinya aku menyiapkan perlengkapan yang akan dibawa untuk ke Pacet.
Akhirnya hari yang ditunggu-tunggu tiba juga. Aku menuju ke sekolah diantar oleh saudaraku. Di sana anak-anak sudah banyak yang berkumpul. Setelah semua siswa telah dating, kita disuruh baris, dan upacara pemberangkatan dimulai.
“Semuanya baris!!”. Perintah seorang ketua panitia.
Setelah upacara seluruh siswa menuju ke kendaraan. Kita berangkat menggunakan mobil tentara angkatan darat. Perjalananpun dimulai.
Perjalanan yang ditempuh cukup jauh dan membutuhkan waktu yang lama. Di tengah perjalanan, ada seorang adik kelasku yang tiba-tiba muntah di depanku, untung saja tidak terkena aku. Semua panitia pada rebut sendiri.
“Kresek…kresek…!”. Mintaku pada panitia. Dan aku berikan kepada adik kelasku.
“Dek, kamu pindah aja tempat dudunya!”. Perintah Nisa temanku yang menjadi ketua panitia.
Akhirnya kita sudah memasuki daerah Pacet. Jalanan menuju ke Villa sangat menanjak, hingga kendaraan yang kita naiki miring. Teman-temanku merasa sangat senang melihat kakan-kiri jalan yang masih sangat hijau.
“Huft, akhirnya tiba juga di Villa”. Gumamku.
“Pemandangannya bagus iya”. Seru Maura.
Di parkiran semuanya sibuk membawa barang-barang bawaan. Dari parkiran menuju ke Villa jaraknya masih 100 meter dan agak menanjak. Akhirnya kita memasuki kamar yang telah dibagi. Sore itu kabut sudah turun. Dan semua anak beristirahat untuk kegiatan besok pagi. Sedangkan para panitia menyiapkan makanan untuk adik kelas.
Keesokan paginya kegiatan diisi dengan game kemudian siang harinya digunakan untuk istirahat. Setelah game usai para panitia rapat untuk pembagian tugas untuk kegiatan penjelajahan yang dilakukuan pada malam hari.
Malam haripun tiba semua panitia sudah bersiap untuk kegiatan penjelajahan. Semua panitia bekumpul dan membagikan senter untuk perjalanan nanti.
“Nes, kamu di pos satu dengan Angga”. Kata Nisa menunjuk aku dan seorang temanku.
“Katanya kita di pos satu yang jaga empat anak, tapi kamu kok bilang cuma aku dan Annga?”. Tanyaku pada Nisa.
“Soalnya anak yang jaga di pos bayangan kurang, dan rute yang di tempuh cukup jauh Nes”.
“Oh, iya sudah klo gitu, kita berangkat sekarang dari pada tambah malam”.
Akhirnya kita berangkat menuju pos masing-masing. Setelah tiba di posku, anak-anak yang lain melanjutkan perjalan ke posnya masing-masing. Aku merasa sangat kaget. Posku terletak di dekat pertigaan jalan, tempatnya sangat dingin dan gelap.
“Angga, aku takut… gelap banget tempatnya”. Gerutuku pada Angga.
“Iya Nes, aku juga takut nih”. Angga membalas perkataanku.
Ada beberapa sepeda dengan kecepatan tinggi yang melewati jalan raya di dekat posku. Kita berdua jadi semakin takut jika terjadi apa-apa.
“Nes, kamu di belakangku aja, kamu kan perempuan”. Pinta Angga padaku. Ngga kayak biasanya Angga bersikap seperti itu kepadaku. Aku jadi merasa ada yang aneh pada diri Angga. Dia menjadi perhatian sekali padaku.
Di sepanjang kegiatan aku menjadi akrab dengan Angga. Dia selalu berada tidak jauh denganku. Saat kegiatan penjelajahan berlangsung kita menjadi sangat dekat. Setelah kegiatan berlangsung kita kembali ke Villa. Dan beristirahat untuk persiapan besok pagi menuju air terjun dan pemandian air panas.
Keesokan harinya setelah makan pagi aku dan teman-teman berangkat bersama ke air terjun. Perjalanan ke air terjun cukup jauh.
“Ayo berangkat sekarang, biar nggak lama-lama kembali ke villa untuk persiapan pulang!”. Nisa memberi arahan.
Di air terjun aku dan teman-teman berfoto-foto. Sayangnya waktu di air terjun ngga lama, kita harus menuju ke pemandian air panas. Pemandian air panas letaknya jauh dari air terjun. Air terjun berada di atas bukit, sedangkan pemandian air panas berada di parkiran mobil dan harus melewati pasar-pasar terlebih dahulu.
“Di pemandian air panas tiketnya bayar sendiri-sendiri, Cuma dua ribu rupiah kok”. Pelatihku memberi tahu kepada anak-anak.
Setelah cukup puas, aku dan teman-teman kembali ke Villa untuk persiapan pulang ke rumah. Setelah sampai di Villa, aku dan teman-teman membereskan barang bawaan dan menuju ke parkiran mobil. Akhirnya perjalan pulang dimulai.
Perjalanan pulang ke Gresik cukup cepat hanya dua jam daripada saat berangkat ke Pacet. Setelah sampai di Sekolah, banyak orang tua yang sudah menunggu anak-anaknya. Aku langsung pulang ke rumah.
Di rumah aku selalu teringat kejadian di Pacet. Pikiranku selalu mengarah pada kegiatan di Pacet. Aku merasa sangat aneh sekali dengan sikap Angga.
Akhirnya liburan telah usai. Aku kembali masuk ke sekolah. Di sekolah aku saling bertukar cerita pada Maura. Maura bercerita padaku kalau Annga menyimpan perasaan ke aku.
“Nes, Angga itu punya perasaan sama kamu”.
“Oh, ya? Biarin aja ah”. Aku mencoba bersikap biasa.
“Kamu kok gitu sih, jangan dong, kasian dia”. Maura memberi pendapat.
Pada jam istirahat, aku bertemu dengan Angga. Dia ingin diantara kita menjalin suatu hubungan, entah persahabatan ataupun lebih. Aku menjadi bingung dan malu.
“Gimana iya… aku bingung nih. Mendingan kita bersahabat aja iya”.
“Terserah kamu aja deh”. Angga membalas perkataanku.
Akhirnya kita menjadi sangat dekat dan akrab. Kitapun menjalin suatu hubungan persahabatan yang indah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar